LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN
SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI PENDENGARAN
A. Konsep Dasar Halusinasi
- Diagnosa Keperawatan
o
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
Pendengaran
o
Data:
Tn. Y (45 tahun) dibawa ke RSJ oleh keluarganya
karena ± 3 hari tidak bisa tidur, sering mondar mandir, tampak bingung, dan
gelisah. Saat dilakukan pengkajian, Tn. J mengatakan kalau dia pernah dirawat di
rumah sakit jiwa. Klien sering mendengar suara yang tidak ada wujudnya saat
sore hari yang membuat dirinya tegang dan kedua tangannya kaku. Klien
mengatakan bahwa suara tersebut berisi tentang hal-hal jorok tentang wanita menyebabkan
dirinya menjadi kesal dan marah, klien juga mengaku bahwa kakeknya pernah
mengalami hal yang sama seperti dirinya. Tn. J banyak berbicara, sering
berganti topik, dan terkadang menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan perawat. Saat
dirawat klien lebih sering berada di kamarnya dan menghabiskan waktunya untuk
tidur
- Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Persepsi adalah
proses diterimanya rangsangan sampai rangsangan tersebut disadari dan
dimengerti penginderaan/ sensasi. Gangguan persepsi: ketidakmampuan menusia
dalam membedakan antara rangsangan yang timbul dari sumber internal (pikiran,
perasaan) dan stimulus eksternal.
Halusinasi
merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera tanpa adanya
ransangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui
panca indera tanpa stimulus eksteren: persepsi (Maramis, 2005). Sedangkan
menurut Depkes (2000) halusinasi adalah gerakan penyerapan (persepsi) panca
indera terjadi pada saat kesadaran individu penuh/baik. Selain itu, menurut
Stuart dan Laraia (2005) halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive
individu yang berada dalam rentang neuro biologi.
Menurut
Varcarolis, halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi
seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tpe halusinasi yang paling sering
adalah halusinasi pendenganran (Auditory-hearing
voices or sound), penglihatan (Visual-seeing
person or things), penciuman (Olfactory-smelling
odors), pengecapan (Gustatory-experiencing
taste).
Pasien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa ada suara padahal
tidak ada bayangan tersebut. Melihat bayangan orang atau sesuatu yang
menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui bau-bauan tertentu
padahal orang lain tidak merasakan sensasi serupa. Merasakan mengecap sesuatu
pada hal tidak sedang makan apapun. Merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada
apapun dalam permukaaan kulit.
Diperkirakan
lebih dari 90% klien dengan Skizofrenia mengalami halusinasi. Meskipun bentuk
halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar klien Skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa mengalami
halusinasi dengar. Suara dapat berasal dari
dalam diri individu atau dari luar dirinya. Suara dapat
dikenal (familiar) misalnya suara nenek yang meninggal. Suara dapat tunggal
atau multiple. Isi suara dapat memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya
tentang perilaku klien sendiri. Klien sendiri merasa yakin bahwa suara itu
berasal dari Tuhan, setan, sahabat, atau musuh. Kadang-kadang suara yang muncul
semacam bunyi bukan suara yang mengandung arti.
b.
Patofisiologi
Stuart dan Sundeen (1998), mengemukakan dua teori
tentang halusinasi, yaitu:
1) Teori
biokimia
Halusinasi
dapat terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang mengakibatkan dan
melepaskan zat halusinogenik neurokimia seperti bufotamin dan
dimetyltransferase.
2) Teori
psikoanalisa
Halusinasi
merupupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam,
ditekan untuk muncul akan sabar.
Sedangkan menurut Mc. Forlano & Thomas (dalam
Dermawan & Rusdi, 2013) mengemukakan beberapa teori yaitu:
1) Teori
psikofisiologi
Terjadi
akibat ada fungsi kognitif yang menurun karena terganggunya fungsi luhur otak,
oleh karena kelelahan, karacunan dan penyakit.
2) Teori
psikodinamik
Terjadi
karena ada isi alam sadar dan akan tidak sadar yang masuk dalam alam tak sadar
merupakan sesuatu atau respon terhadap konflik psikologi dan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sehingga halusinasi adalah gambaran atau proyeksi dari
rangsangan keinginan dan kebutuhan yang dialami oleh klien.
3) Teori
interpersonal
Teori
ini menyatakan seseorang yang mengalami kecemasan berat dalam situasi yang
penuh dengan stress akan berusaha untuk menurunkan kecemasan dengan menggunakan
koping yang biasa digunakan.
c.
Pathway
d. Proses
Terjadinya Halusinasi
Ada beberapa tahapan-tahapan pada klien dengan halusinasi antara lain
(Yosep, 2009) yaitu :
1)
Stage I: Sleep Disorder (fase awal seseorang sebelum muncul
halusinasi)
Klien merasa banyak masalah,
ingin menghindari dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya
banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor
terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati kekasih,
masalah dikampus, diPHK ditempat kerja, penyakit, utang, nilai dikampus, drop
out, dan sebagainya.
Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
2)
Stage II : Comforting Moderate level of anxiety (halusinasi secara
umum diterima sebagai sesuatu yang alami)
Klien mengalami emosi yang
berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaa berdosa, ketakutan
dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya diatur,
dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
3)
Stage III : Condemning Severe level of anxiety (secara umum halusinasi
sering mendatangi klien)
Pengalaman sensori klien menjadi
sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi
mengontrolnya dan mulai berupayah menjaga jarak antara dirinya dengan objek
yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
4)
Stage IV : Controlling Severe level of anxiety (fungsi sensori
menjadi tidak relevan dengan kenyataan)
Klien mencoba melawan suara-suara
atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
5)
Stage V: Conquering Panic level of anxiety (klien mengalami gangguan
dalam menilai lingkungannya)
Pengalaman sensorinya terganggu,
klien mulai merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien
tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang di dengar dari halusinasinya.
Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien
tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.
e.
Faktor
Predisposisi dan Presipitasi
1)
Faktor
Predisposisi
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi adalah :
Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi adalah :
a)
Faktor
Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b)
Faktor
Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c)
Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
d)
Faktor
Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e)
Faktor Genetik
dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2)
Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007) yang
dikutip oleh Jallo (2008), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah :
a)
Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b)
Stress
lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c)
Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
f. Penilaian
Terhadap Stressor
1) Kognitif
a) Bingung
b) Menyalahkan
diri sendiri/orang lain
c) Berbicara
adanya halusinasi
d) Ketakutan
e) Kecemasan
f) Tidak
dapat membedakan hal nyata dan tidak nyata
g) Pembicaraan
kacau kadang tidak masuk akal
h) Sulit
membuat keputusan
i)
Tidak dapat memusatkan
perhatian/konsentrasi
2) Afektif
a) Kecemasan
b) Khawatir
c) Wajah
tegang
3) Fisiologis
a) Muka
merah, kadang pucat
b) Tekanan
darah dan nadi meningkat
c) Napas
terengah-engah
d)
Banyak keringat
4) Perilaku
a) Duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu
b) Menggerakan-gerakan
bibir
c) Tidak
mampu melaksanakan asuhan mandiri: mandi, sikat gigi, ganti pakaian, berhias
yang rapi
d) Berbicara
dengan mengatakan ‘mereka’
e) Gelisah
f) Tersenyum,
tertawa atau berbicara sendiri
g) Melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu
h) Mendengar,
melihat atau merasakan stimulus yang tidak nyata
i)
Perbutaan yang tidak wajar
j)
Perilaku mengisolasi diri
5) Social
a) Menarik
diri
b) Sikap
curiga dan bermusuhan, merusak diri/orang lain/lingkungan
Menurut Dermawan (2013)
penilaian terhadap stressor pada halusinasi, yaitu:
1)
Fungsi Kognitif
Pada fungsi kognitif terjadi perubahan daya ingat,
klien mengalami kesukaran dalam menilai dan menggunakan memorinya atau klien
mengalami gangguan daya ingat jangka panjang/ pendek. Klien menjadi pelupa dan
tidak berminat.
a) Cara berfikir magis dan primitive: klien
menganggap bahasa diri dapat melakukan sesuatu yang mustahil bagi orang lain,
misalnya dapat merubah menjadi spiderman. Cara berpikir klien seperti anak pada
tingkat perkembangan anak pra sekolah.
b) Perhatian: klien tidak mampu
mempertahankan perhatiannya atau mudah teralih, serta konsentrasi buruk,
akibatnya mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas dan berkonsentrasi
terhadap tugas.
c) Isi pikir: klien tidak mampu memproses
stimulus interna dan eksterna dengan baik sehingga terjadi curiga, siar pikir,
sisip pikir, somatic.
d)
Bentuk dan pengorganisasian bicara:
klien tidak mampu mengorganisasian pemikiran dan menyusun pembicaraan yang
logis serta kohern. Gejala yang sering timbul adalah kehilangan asosiasi,
kongensial, inkoheren/ neologisme, sirkumfasial, tidak masuk akal. Hal ini
dapat diidentifikasikan dari pembicaraan klien yang tidak relevan, tidak logis
bicara yang berbelit.
2)
Fungsi
Emosi
Emosi
digambarkan dalam istilah mood dan afek. Mood adalah suasana emosi sedangkan
afek mengaju kepada expresi emosi, yang dapat diamati dari expresi wajah, gerakan
tangan, tubuh dan nada suara ketika individu menceritakan perasaannya.
Pada respons neurobiologis yang
maladaptif terjadi gangguan emosi yang dapat dikaji melalui perubahan afek:
a) Afek tumpul: kurangnya respon emosional
terhadap pikiran, orang lain atau pengalaman. Klien tampak apatis.
b) Afek
datar: tidak tampak expresi aktif, suara monoton dan wajah datar, tidak ada
keterlibatan perasaan.
c) Afek tidak sesuai: afek tidak sesuai
dengan isi pembicaraan.
d) Reaksi berlebihan: reaksi emosi yang
berlebihan terhadap suatu kejadian.
e) Ambivalen: timbulnya dua perasaan
yang bertentangan pada saat yang bersamaan.
3) Fungsi Motorik
Respon
neurobiologis maladaptif menimbulkan perilaku yang aneh, membingungkan dan
kadang-kadang tampak tidak kenal dengan orang lain. Perubahan tersebut adalah:
a) Impulsif: cenderung melakukan
gerakan yang tiba-tiba dan spontan.
b) Manerisme: dikenal melalui gerakan
dan ucapan seperti grimasentik.
c) Stereotipik: gerakan yang
diulang-ulang tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus yang jelas.
d) Katatonia: kekacauan psikomotor pada
skizofrenia tipe katatonik (eq: catatonic
excitement, stupor, catalepsy, flexibilitascerea), imobilitas karena factor
psikologis, kadangkala ditandai oleh periode agitasi atau gembira, klien tampak
tidak bergerak, seolah-olah dalam keadaan setengah sadar.
4) Fungsi Social
Perilaku
yang terkait dengan hubungan sosial sebagai akibat dari respon neurobiologis
yang maladaptive adalah sebagai berikut:
a) Kesepian
Perasaan terisolasi dan terasing, perasaan kosong dan merasa
putus asa sehingga kllien terpisah dengan orang lain.
b) Isolasi social
Terjadi ketika klien menarik diri secara fisik dan emosional
dari lingkungan. Isolasi diri klien tergantung pada tingkat kesedihan dan
kecemasan yang berkaitan dalam berhubungan dengan orang lain. Rasa tidak
percaya pada orang lain merupakan inti masalah pada klien. Pengalaman hubungan
yang tidak menyenangkan menyebabkan klien menganggap hubungan saat ini
membahayakan. Klien merasa terancam setiap ditemani orang lain karena ia
menganggap oran tersebut akan mengontrolnya , mengancam, menuntutnya. Oleh
karena itu klien memilih tetap mengisolasi diri dari pada pengalaman yang
menyedihkan terulang kembali.
c)
Harga diri rendah
g. Sumber
Koping
1)
Aset ekonomi.
2)
Kemampuan dan keahlian.
3)
Teknik defensif.
4)
Sumber sosial.
5)
Motivasi.
6)
Kesehatan dan energi.
7)
Kepercayaan.
8)
Kemampuan memecahkan masalah.
9)
Kemampuan sosial.
10)
Sumber sosial dan material.
11)
Pengetahuan.
12)
Stabilitas budaya.
Sumber koping yang
dapat dilakukan pasien dengan halusinasi adalah
1. Personal ability: Ketidakmampuan
memecahkan masalah, ada gangguan dari kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,
pengetahuan tentang penyakit dan intelegensi yang rendah, identitas ego yang
tidak adekuat.
2.
Social
support: Hubungan
antara individu, keluarga, kelompok, masyarakat tidak adekuat, komitmen dengan
jaringan sosial tidak adekuat
3.
Material asset: Ketidakmampuan
mengelola kekayaan, misalnya boros atau santa pelit, tidak mempunyai uang untuk
berobat, tidak ada tabungan, tidak memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak
ada pelayanan kesehatan dekat tempat tinggal.
4.
Positif belief: Distress spiritual, tidak memiliki motivasi, penilaian
negatif terhadap pelayanan kesehatan, tidak menganggap itu suatu gangguan.
h. Mekanisme
Koping
1) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi: menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan
berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik
dengan stimulus internal.
i. Akibat
Akibat yang
dapat ditimbulkan pada klien halusinasi berlanjut menurut Kelliat (1999)
adalah:
1)
Klien
dapat melakukan kekerasan seperti mencederai diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal ini disebabkan bila halusinasi yang dialami merupakan ancaman
bagi diri.
2)
Klien
mengalami intoleransi aktivitas sehingga perawatan diri klien menjadi kurang,
hal ini disebabkan oleh halusinasi telah mempengaruhi/ memfokuskan pikiran
klien ke hal yang tidak realitas sehingga klien hanya sibuk dengan dunia non
realitas dan lupa akan keadaan realitas.
3)
Keputusasaan
4)
Ketidakberdayaan
5)
Gerakan
Komsi
6)
Gerakan
Interaksi Sosial
j. Rentang Respon
k. Kasifikasi Halusinasi
Adapun
Manifestasi Klinis halusinasi menurut Videback
(2004: 310) sebagai berikut,
B. Konsep Keperawatan
- Pengkajian
a.
Mengkaji
Data Objektif dan Subjektif
Di rumah sakit jiwa Indonesia, sekitar 70%
halusinasi yang dialami pasien gangguan jiwa adalah halusinasi suara, 20%
halusinasi penglihatan dan 10% halusinasi penciuman, pengecapan dan perabaan.
Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku pasien dan
menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh pasien.
Untuk mengetahui jenis-jenis halusinasi dapat dengan
cara mengobservasi perilaku pasien, memeriksa, mengukur, sedangkan data
subjektif didapatkan dengan cara wawancara, curahan hati, ungkapan-ungkapan
klien, apa-apa yang dirasakan dan didengar klien secara subjektif. Data ini
ditandai dengan “klien menyatakan atau klien merasa.”
b.
Mengkaji
Waktu, Frekuensi dan Situasi Munculnya Halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan
situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk
menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari
situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.Sehingga pasien tidak larut
dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat
direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
c.
Mengkaji
Respons terhadap Halusinasi
Untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan
apa respons klien ketika halusinasi itu mucul, perawat dapat juga menanyakan
kepada keluarga atau orang terdekat dengan klien. Selain itu, dapat juga dengan
mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika halusinasi timbul.
- Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau
kesimpulan yang diambil dari pengkajian. Diagnosa keperawatan adalah masalah
kesehatan aktual atau potensial dan berdasarkan pendidikan dan pengalamannya
perawat mampu mengatasinya (Carpernito, 2000).
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat
disimpulkan dari hasil pengkajian adalah:
a. Masalah
keperawatan: Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran
·
Data Subjektif: Klien mengatakan sering
mendengar suara yang tidak ada wujudnya saat sore hari yang membuat dirinya
tegang dan kedua tangannya kaku. Klien mengatakan bahwa suara tersebut berisi
tentang hal-hal jorok tentang wanita.
·
Data Objektif: Klien banyak berbicara
dan sering berganti topik, terkadang menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan
perawat.
b. Pohon
Diagnosa
3. Rencana Intervensi Keperawatan
a. Tindakan
Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
b) Pasien dapat
mengontrol halusinasinya
c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan
a) Membantu klien mengenali halusinasi
Perawat mencoba
menanyakan pada klien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadi
halusinasi, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi muncul.
b) Melatih pasien mengontrol halusinasi
Untuk membantu klien
agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada klien. Ke
empat cara tersebut meliputi:
1)
Menghardik
Halusinasi
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan
diri terhadap halusinasi. Pasien
dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasinya atau tidak memperdulikan halusinasinya.
Tahapan tindakan meliputi:
1. Menjelaskan
cara menghardik halusinasi
2. Memperagakan
cara menghardik halusinasi
3. Meminta
pasien memperagakan ulang
4. Memantau
penerapan ini, menguatkan perilaku pasien
2)
Melatih
bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan
bercakap-cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan
orang lain maka terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih
dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain.
3)
Melatih klien
beraktivitas secara terjadwal
Libatkan pasien dalam terapi modalitas, untuk mengurangi
resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan membimbing
klien membuat jadwal teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak
akan mengalami banyak waktu luang yang seringkali mencetuskan halusinasi. Klien
beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu.
Tahapan
tindakan meliputi:
- Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi
- Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien
- Melatih pasien melakukan aktivitas
- Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang sudah dilatih.
- Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan pada pasien yang positif
4)
Melatih pasien
menggunakan obat secara teratur
Agar klien mampu mengontrol halusinasi maka perlu
dilatih menggunakan obat secara
teratur sesuai dengan program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering kali mengalami putus obat sehingga klien mengalami kekambuhan.
Tindakan keperawatan agar klien patuh menggunakan
obat:
- Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
- Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
- Jelaskan akibat putus obat
- Jelaskan cara berobat
- Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)
b. Tindakan
Keperawatan untuk Keluarga
1) Tujuan
a) Keluarga
dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun di rumah
b) Keluarga
dapat menjadi system pendukung yang efektif untuk pasien
2) Tindakan
Keluarga merupakan factor yang menentukan
keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga
selama pasien di rawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien
termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di rumah
sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara
konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara
optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, pasien akan
kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Untuk itu perawat
harus memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar keluarga mampu
menjadi pendukung yang efektif bagi pasien dengan halusinasi baik saat di
rumah sakit maupun di rumah.
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk
keluarga pasien halusinasi adalah:
1. Diskusikan
masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan
pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang
dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan
cara merawat pasien halusinasi.
3. Berikan
kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien dengan
halusinasi langsung di hadapan pasien
4. Beri
pendidikan kesehatan kepada keluarga perawatan lanjutan pasien
c. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
TAK yang dapat dilakukan untuk pasien waham meliputi
hal-hal sebagai berikut:
- TAK orientasi realitas
a) Sesi 1: Pengenalan orang
b) Sesi 2: Pengenalan tempat
c) Sesi 3: Pengenalan waktu
- TAK sosialisasi
a) Sesi 1: Kemampuan memperkenalkan diri
b) Sesi 2: Kemampuan berkenalan
c) Sesi 3: Kemampuan berbicara
d) Sesi 4: Kemampuan berbicara topik tertentu
e) Sesi 5: Kemampuan berbicara masalah pribadi
f) Sesi 6: Kemampuan bekerjasama
g) Sesi 7: Evaluasi kemampuan sosialisasi
- Evaluasi
Evaluasi hasil pelaksanaan tindakan dlakukan kepada klien
dan keluarga (apabila keluarga berkunjung), hasil evaluasi:
a)
Evaluasi pada klien:
1)
Klien dapat mengenal halusinasi
2)
Klien dapat menghardik halusinasi
3)
Klien dapat bercakap-cakap dengan orang
lain untuk mengalihkan halusinasi
4)
Klien dapat menggunakan obat dengan
benar
b)
Evaluasi pada keluarga
1)
Keluarga dapat mengenal halusinasi
2)
Klien dapat merawat klien saat pulang
3)
Keluarga dapat membuat perencanaan pulang
- Dokumentasi
Dokumentasi asuhan keperawatan dilakukan setiap
proses keperawatan, karenanya dokumentasi asuhan dalam keperawatan jiwa berupa:
dokumentasi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Nasir, Abdul dan Abdul Muhith. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
Yusuf, dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Videbeck, S L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Sheila L. Videbeck: alih bahasa, Renata Komalasari, Alfrina Hany; Editor edisi
bahasa Indonesia, Pemilih Eko Karyuni. Jakarta : EGC.
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung:
Refika Aditama.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Keliat, Anna Budi dan Akemat. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC.
Stuart & Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta: EGC.